Manusia dan Kebudayaan
MANUSIA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk ciptaan
Tuhan yang sangat sempurna karena diberi akal pikiran dan nafsu. Manusia juga
bisa disebut “creator” karena manusia bisa menciptakan sesuatu seperti
kebudayaan , atau barang yang berguna bagi semua manusia. Manusia juga disebut
sebagai “makhluk sosial” yaitu dimana manusia tidak dapat hidup sendiri
melainkan hidup berdampingan antara individu satu dengan individu yang lain. Dengan
kata lain manusia hidup harus tolong menolong agar bisa bertahan hidup.
Budaya = cultuur (bahasa
belanda) = culture (bahasa Inggris) = tsaqofah (bahasa Arab), berasal dari
bahasa Latin “Colere” yang artinya mengolah, mengerjakan menyuburkan dan
mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini
berkembanglah arti culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk
mengolah dan mengubah alam”.Ditinjau dari sudut bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa Sansakerta “Buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.
Pendapat lain mengatakan, bahwa kata budaya adalah sebagai perkembangan dari kata budidaya, yang berarti daya dan budi. Maka dari itu dibedakanlah antara pengertian budaya dan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta karsa dan rasa, sedangkan budaya merupakan hasil dari budaya atau hasil cipta, karsa dan rasa.
Budaya dijalankan oleh manusia sebagai penggeraknya, hubungan antar manusia dengan budaya sangat kuat tidak bisa dipisahkan. Budaya Indonesia sangat melimpah ruah setiap daerah juga berbeda – beda, maka dari itu sekarang kita akan membahas tentang kebudayaan bekasi juga dalam artikel ini.
1.2
TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan dari artikel ini
adalah :
1. supaya mengerti bagaimana
hubungan antara manusia dengan kebudayaan.
2. tahu seperti apa budaya Bekasi
itu.
1.3
RUMUSAN MASALAH
1. Apa hubungan manusia dengan
Kebudayaan?
2. seperti apa budaya Bekasi itu?
PEMBAHASAN
BAB 2
2.1
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN KEBUDAYAAN
Akal budi merupakan
kelebihan yang dimiliki oleh manusia. Akal juga adalah kemampuan dari manusia
untuk berfikir sebagai kodrat. Budi artinya akal juga atau suatu bagian dari
kata hati manusia yang berupa panduan akal serta perasaan yang mampu membedakan
baik dan buruk. Dengan akal dan budi inilah manusia mampu menciptakan bebagai
hal antara lain :– Menciptakan
– Kreasi
– Memperlakukan
– Memperbaruhi
– Memperbaiki
– Mengembangkan dan
– Meningkatkan sesuatu
Sedangkan ditinjau dari sudut antropologi, manusia
dapat di klarifikasi dari dua jenis:
– manusia sebagai makhluk biologi
– manusia sebagai makhluk sosio-budaya
– manusia sebagai makhluk biologi
– manusia sebagai makhluk sosio-budaya
Manusia sebagai makhluk biologi , bahwa manusia
dapat dipelajari dari sisi ilmu biologi dan anatomi. Sedangkan manusia sebagai
makhluk sosio-budaya yaitu manusia dipelajari dalam sudut pandang antropologi
budaya. Antropologi budaya sendiri menyelidiki mengenai seluruh cara hidup
manusia, bagaimana manusia menggunakan akal budi dan struktur fisiknya untuk
mengubah lingkungannya berdasarkan pengalaman. Juga memahami serta menuliskan
kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat manusia.
Manusia yang mempunyai jiwa, mempunyai pula
kebudayaan. Hewan yang tidak mempunyai jiwa tidak pula akan mempunyai
kebudayaan. Kesimpulannya: jiwa yang sesungguhnya memyebabkan adanya
kebudayaan. Yang membedakan manusia dan hewan secara abstrak adalah jiwa yang
merupakan sumber dan ciptaan kebudayaan
Manusia sangat erat kaitannya dengan kebudayaan.
Begitupun sebaliknya. Manusia yang membuat kebudayaan. Dan hampir setiap
tingkah laku manusia itu adalah kebudayaan. Dalam sosiologi manusia dan
kebudayaan dinilai sebagai dwitunggal. Maksudnya adalah walaupun keduanya
berbeda, tetapi keduanya merupakan suatu kesatuan. Manusia menciptakan
kebudayaan, dan setelah kebudayaan itu tercipta maka kebudayaan mengatur hidup
manusia agar sesuai dengannya. Kebudayaan yang digunakan manusia dalam
menyelesaikan masalah-masalahnya bisa kita sebut sebagai way of life, yang
digunakan individu sebagai pedoman dalam bertingkah laku.
Dari sisi lain, hubungan antara manusia dan
kebudayaan ini dapat dipandang setara dengan hubungan antara manusia dengan
masyarakat dinyatakan sebagai dialegtis, maksudnya adalah saling terkait satu
dengan yang lainnya. Proses dialegtis ini tercipta melalui tiga tahap, yaitu:
1. Eksternalisasi, yaitu proses dimana manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya.
2. Obyektivasi, yaitu proses dimana manusia menjadi realitas obyektif, yaitu suatu kenyataan yang terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia.
3. Internalisasi, yaitu proses dimana manusia sergap kembali oleh manusia. Maksudnya bahwa manusia mempelajari kembali masyarakatnya sendiri agar dia dapat hidup dengan baik, sehingga manusia menjadi kenyataan yang dibentuk oleh masyarakat.
Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan
yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan
yang paling sempurna menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya
secara turun menurun. Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari dan juga dari
kejadian – kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
Definisi Kebudyaan itu sendiri adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Namun kebudayaan juga dapat kita nikmati dengan panca indera kita. Lagu, tari, dan bahasa merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dapat kita rasakan.
Definisi Kebudyaan itu sendiri adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Namun kebudayaan juga dapat kita nikmati dengan panca indera kita. Lagu, tari, dan bahasa merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dapat kita rasakan.
Manusia dan kebudayaan pada hakekatnya memiliki
hubungan yang sangat erat, dan hampir semua tindakan dari seorang manusia itu
adalah merupakan kebudayaan. Manusia mempunyai empat kedudukan terhadap
kebudayaan yaitu sebagai:
1) penganut kebudayaan
2) pembawa kebudayaan
3) manipulator kebudayaan, dan
4) pencipta kebudayaan
1) penganut kebudayaan
2) pembawa kebudayaan
3) manipulator kebudayaan, dan
4) pencipta kebudayaan
2.2
KEBUDAYAAN BEKASI
Bekasi mengalami proses asimilasi dan akulturasi kebudayaan
dari berbagai daerah seperti Bali, Melayu, Bugis, dan Jawa. Pengaruh etnis
tersebut tersebar di wilayah Bekasi, antara lain :
1. Suku Sunda banyak bermukim terutama di wilayah Lemahabang; Cibarusah, Setu sebagian Pebayuran dan sebagian Pondik Gede.
2. Suku Jawa dan Banten banyak bermukim di Kecamatan Sukatani dan sebagian Cabang Bungin.
3. Suku bangsa Melayu banyak bermukim di Kecamatan Bekasi (daerah kota), Cilincing (sekarang masuk Jakarta), Pondok Gede, Babelan, Tambun, Cikarang, Cabang Bungin, dan Setu.
4. Suku Bali terdapat di sebuah kampung di Kecamatan Sukatani, bahkan sampai sekarang namanya masih Kampung Bali.
keberadaan penduduk yang berasal dari berbagai etnis tersebut, telah mempengaruhi pola hidup dan bahasa.
1. Suku Sunda banyak bermukim terutama di wilayah Lemahabang; Cibarusah, Setu sebagian Pebayuran dan sebagian Pondik Gede.
2. Suku Jawa dan Banten banyak bermukim di Kecamatan Sukatani dan sebagian Cabang Bungin.
3. Suku bangsa Melayu banyak bermukim di Kecamatan Bekasi (daerah kota), Cilincing (sekarang masuk Jakarta), Pondok Gede, Babelan, Tambun, Cikarang, Cabang Bungin, dan Setu.
4. Suku Bali terdapat di sebuah kampung di Kecamatan Sukatani, bahkan sampai sekarang namanya masih Kampung Bali.
keberadaan penduduk yang berasal dari berbagai etnis tersebut, telah mempengaruhi pola hidup dan bahasa.
A. Adat istiadat masyarakat Bekasi
Walaupun Bekasi memiliki penduduk Non-Islam, namun kehidupan Islami sangat kental dalam budaya masyarakat Bekasi. Sikap toleransi pun menjadi ciri khas Kota Bekasi, bentuk toleransi tersebut diwujudkan dengan sikap konkrit berupa keramahtamahan, misalnya:
a) gaya hidup sederhana, tidak berlebihan
b) solidaritas dan gotong royong
c) mengamalkan asas mufakat untuk pengambilan keputusan.
semua ini secara langsung atau tidak terkait dengan nilai ketakwaan kepada Tuhan YME, termasuk ajaran agama Islam (Suparlan, 1985).
1.
Tradisi Pantangan dan Kuwalat
tradisi ini merupakan bentuk folklore, yang tidak diketahui siapa pencipta dan asalnya, pantangan ini digunakan sebagai saran atau himbauan. Diantaranya adalah :
a) dilarang membuang sampah ke sungai, jka ada buaya yang memangsanya itu adalah kuwalat baginya karena telah mencemarkan sungai.
b) untuk mencegah sepasang buaya putih penunggu sungai marah, masyarakat Melayu Betawi "nyugu" dengan membawa sesajen kembang tujuh rupa, telor ayam mentah, bekakak ayam, dan nasi kuning.
c) tradisi menghormati sepasang buaya putih, masih tercermin dalam adat perkawinan Melayu Betawi yang mengharuskan dalam pinangan pihak mempelai laki-laki membawa sepasang roti buaya.
d) sampah harus ditabun, maka nabun atau membakar sampah merupakan kebiasaan orang Melayu Betawi dan menebang pohon pun tidak boleh sembarangan, karena dalam pohon kayu yang besar terdapat penunggu yang akan marah bila pohon kayu itu ditebang secara sembarangan.
tradisi ini merupakan bentuk folklore, yang tidak diketahui siapa pencipta dan asalnya, pantangan ini digunakan sebagai saran atau himbauan. Diantaranya adalah :
a) dilarang membuang sampah ke sungai, jka ada buaya yang memangsanya itu adalah kuwalat baginya karena telah mencemarkan sungai.
b) untuk mencegah sepasang buaya putih penunggu sungai marah, masyarakat Melayu Betawi "nyugu" dengan membawa sesajen kembang tujuh rupa, telor ayam mentah, bekakak ayam, dan nasi kuning.
c) tradisi menghormati sepasang buaya putih, masih tercermin dalam adat perkawinan Melayu Betawi yang mengharuskan dalam pinangan pihak mempelai laki-laki membawa sepasang roti buaya.
d) sampah harus ditabun, maka nabun atau membakar sampah merupakan kebiasaan orang Melayu Betawi dan menebang pohon pun tidak boleh sembarangan, karena dalam pohon kayu yang besar terdapat penunggu yang akan marah bila pohon kayu itu ditebang secara sembarangan.
kuwalat dan ketulah sangat sulit dibedakan artinya. kuwalat atau
kewalat berarti kena walat. ketulah berarti kena tulah, walat dan tulah adalah
kena bencana, kesialan (istilaha bahasa Melayu-Betawi "sial
dangkalan")
Dalam sistem kepercayaan lama, kekuasan yang maha tinggi
dipercaya adalah berupa para dewa-dewa dan dewa-dewa itu mempunyai kepala dewa
(dewa tertinggi). Kebiasaan 'nyuguin' dan 'ngukup' adalah kebiasaan untuk
menghormati dewa-dewa. nyuguin (berupa sesajen dalam masyarakat Jawa) dan
diungkupin (yaitu dengan membakar kemenyan yang asap-asapnya dibawa ke setip
sudut rumah)
2.
Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan yang berlaku di daerah Jawa, bahkan di masyarakat Bekasi menganut sistem kekerabatan yang bersifat " Parental " atau " Bilateral" yaitu menarik garis keturunan sendiri, artinya masyarakat Bekasi apabila sudah berkeluarga cenderung menarik garis keturunan sendiri baik dari pihak Ayah maupun dari pihak Ibu dan menetap terpisah dari orangtua walaupun sering kali lokasinya berdekatan.
B. Makanan Khas Bekasi
Sistem kekerabatan yang berlaku di daerah Jawa, bahkan di masyarakat Bekasi menganut sistem kekerabatan yang bersifat " Parental " atau " Bilateral" yaitu menarik garis keturunan sendiri, artinya masyarakat Bekasi apabila sudah berkeluarga cenderung menarik garis keturunan sendiri baik dari pihak Ayah maupun dari pihak Ibu dan menetap terpisah dari orangtua walaupun sering kali lokasinya berdekatan.
B. Makanan Khas Bekasi
Wisatawan yang datang ke Bekasi rasanya tidak puas bila tidak menikmati kuliner khas di Bekasi. Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, pada masyarakat Bekasi dikenal beberapa jenis makanan khas yang sering disajikan pada acara-acara tertentu atau hari raya. Misalnya dodol, setiap keluarga akan selalu berupaya agar pada saat hari raya (lebaran) tersedia sebagian penganan untuk dikirim kepada tetangga, keluarga atau untuk disajikan bila ada tamu. Dodol ini juga bisa dibuat bila akan mengadakan kenduri. Makanan ini terbuat dari tepung beras ketan yang dicampur dengan gula merah dan kelapa.
Kuliner Bekasi yang masih dalam kategori kue basah, cukup banyak dan bervariasi, di antaranya adalah: Dodol, Kue Jalabia, Kue Cucur, Kue Bugis, Kue Bika Ambon, Kue Pepe, Kue Putu Mayang, Kue Talam, Kue Pisang, Kue Lopis, Kue Cincin, Kue Geplak, Kue Onde-Onde, Kue Gemplong, Kue Lopis, Kue Dadar Gulung dan kerak telor.
C. Ciri khas bekasi
Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi,
baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm
dan beratnya sekitar 300 gram.
Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.
Menurut Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda.
Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.
Menurut Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda.
Kujang dikenal sebagai benda tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda)
yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti
menyatakan bahwa istilah "kujang" berasal dari kata kudihyang
(kudi dan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang
berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.
Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406). Sementara itu, Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.
Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi. Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral.
Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406). Sementara itu, Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.
Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi. Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral.
BAB 3
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Jadi manusia dengan budaya sangat erat hubungann. Budaya
itu sendiri diciptakan oleh manusia maka dari itu manusia juga disebut sebagai
creator atau pencipta. Dan Manusia mempunyai empat kedudukan terhadap
kebudayaan yaitu sebagai:
1) penganut kebudayaan
2) pembawa kebudayaan
3) manipulator kebudayaan, dan
4) pencipta kebudayaan
1) penganut kebudayaan
2) pembawa kebudayaan
3) manipulator kebudayaan, dan
4) pencipta kebudayaan
Kebudayaan bekasipun tidak luput juga dari buatan
manusia, yang dimana bekasi itu adalah kota penyangga dari Jakarta yang
penduduknya berasal dari mana saja. Namun, kota Bekasi mayoritas penduduknya
adalah suku betawi dan suku sunda. Banyak sekali kebudayaan Bekasi seperti
Tanjidor, Kue Bugis, Kue cucur, Dodol Bekasi.
3.2 SARAN
Kita sebagai manusia hendaknya bisa menjadi innovator untuk kebudayaan tanpa harus menghilangkan originalitas Budaya itu sendiri yang sudah dibuat oleh nenek moyang kita, dan kita harus menjaganya bersama – sama supaya budaya Bekasi ini ataupun Budaya daerah yang lainnya agar tidak hilang.
Komentar
Posting Komentar